ut

Sabtu, 16 Mei 2015

perawatan palliatif pada pasien kanker



PERAWATAN PALLIATIF PADA PASIEN KANKER


A.  PENDAHULUAN

     Kanker adalah suatu kondisi dimana sel telah kehilangan pengendalian dan mekanisme normalnya, sehingga mengalami pertumbuhan yang tidak normal, cepat dan tidak terkendali. Kanker payudara (Carcinoma mammae) adalah suatu penyakit neoplasma yang ganas berasal dari parenchyma. Penyakit ini oleh Word Health Organization (WHO) dimasukkan ke dalam International Classification of Diseases (ICD).
     Stadium penyakit kanker adalah suatu keadaan dari hasil penelitian dokter saat mendiagnosis suatu penyakit kanker yang diderita pasiennya, sudah sejauh manakah tingkat penyebaran kanker tersebut baik ke organ atau jaringan sekitar maupun penyebaran ketempat lain. Stadium hanya dikenal pada tumor ganas atau kanker dan tidak ada pada tumor jinak. Fokus terapi pada kanker tahap akhir bersifat paliatif (mengurangi rasa sakit). Dokter berupaya untuk memperpanjang serta memperbaiki kualitas hidup pasien.
     Pada stadium lanjut, pasien dengan penyakit kronis tidak hanya mengalami berbagai masalah fisik seperti nyeri, sesak nafas, penurunan berat badan, gangguan aktivitas tetapi juga mengalami gangguan psikososial dan spiritual yang mempengaruhi kualitas hidup pasien dan keluarganya. Maka kebutuhan pasien pada stadium lanjut suatu penyakit tidak hanya pemenuhan/ pengobatan gejala fisik, namun juga pentingnya dukungan terhadap kebutuhan psikologis, sosial dan spiritual yang dilakukan dengan pendekatan interdisiplin yang dikenal sebagai perawatan paliatif.

B.  Perawatan Palliatif
1.   Penanganan nyeri
       Perawatan palliatif adalah  pendekatan yang bertujuan memperbaiki kualitas hidup pasien dan keluarga yang menghadapi masalah yang berhubungan dengan penyakit yang dapat mengancam jiwa melalui pencegahan dan peniadaan melalui identifikasi dini dan penilaian yang tertib serta penanganan nyeri dan masalah-masalah lain, fisik, psikososial dan spiritual.
     Hampir sebagian besar pasien kanker masih menerima perawatan yang tidak sesuai untuk mengatasi nyeri. Palliatif care lebih fokus pada perawatan di akhir hidup pasien. Efektivitas pada awal perawatan paliatif telah diteliti menggunakan Randomized Control Trial (RCT) dibandingkan dengan perawatan biasa pada pasien kanker paru-paru. Hasilnya menunjukkan bahwa pasien yang mendapatkan perawatan paliatif dapat mengurangi depresi dan meningkatkan kualitas hidup serta dapat bertahan 3 bulan.
    Epidemiologi klinik perwakilan Dolore di ospedale/ klinik perawatan epidemiologi nyeri di RS ). Kelompok telah menetapkan untuk mengaktiviasi surveilans pada manajemen nyeri. Sebagai bagian dari perawatan rutin. Survey ini untuk mengevaluasi terapi analgesik yang digunakan RS untuk mengontrol nyeri dan menginvestigasi persepsi tentang kontrol nyeri pada pasien dan tenaga kesehatan.
    Hasil survey ECAD-O menunjukkan nyeri pada kanker merupakan salah-satu penyebab diberikannya terapi analgesik pada kasus onkologi dan non onkologi, tetapi onkologi tersebut menyediakan standar yang paling adekuat pada pengobatan kanker yang berkaitan dengan nyeri.
    Pada penelitian ini dinilai perbandingan antara kelompok pasien kanker  pada kelompok palliatif dan perawatan supportif dengan pasien kanker yang menggunakan perawatan standard onkologi termasuk terapi analgesik dan intensitas nyeri. Penelitian ini menggunakan desain Cross sectional di 32 RS di Italia berjumlah 1450 pasien yang menerima terapi analgesik pada nyeri kanker, 602 menggunakan standard onkologi care & 848 dengan akses awal untuk palliatif dan supportif care.
    Hasil menunjukkan terdapat perbedaan pemberian obat analgesik diantara keduanya. Non- opioids lebih sering digunakan pada supportif care (9,5% ,p< 0,001). Strong opioid di ePSC. Jumlah pasien dengan tingkat nyeri yang berat lebih rendah pada ePSC dibandingkan dengan kelompok SC (31% Vs 17%; P < 0,0001). Hasil uji multivariat menunjukkan bahwa ePSC integrasi dengan pelayanan onkologi dasar merupakan faktor yang berhubungan dengan risiko terserang nyeri hebat. Tim PSC memberikan standard efektif pada terapi analgesik untuk nyeri kanker.



2.   B-12/ CRP untuk melihat daya kelangsungan hidup pasien kanker
    Tenaga kesehatan belum bisa memastikan/ memperkirakan kelangsungan hidup (survival) pada pasien kanker stadium akhir. Hal ini penting untuk tenaga kesehatan dan pasien karena berkaitan dengan perencanaan yang akan dibuat. Penelitian sebelumnya menunjukkan vitamin B12/C reaktif protein index. BCI index dibagi menjadi 3 kelompok. Kelompok I (BCI ≤ 10.000) 3 bulan survive52,8%, Kelompok II BCI (10.000-40.000) survive 3 bulan 27,5% dan kelompok III (BCI > 40.000) survive sampai 3 bulan 9,4%.
    Pasien dengan kanker stadium akhir diambil spesimen darahna. Data demografi dan penyakit yang diambil. Pasien diikuti ± 90 hari sampai pasien meninggal. Hasil menunjukkan pasien (n=329) dibagi 3 kelompok berdasarkan skor BCI. Pasien pada kelompok ke-3 (BCI > 40.000), survive mediannya 29 hari) signifikan ( p, 0,01), Kelompok ke-2 (BCI 10.001-40.0000 43 hari dan pada kelompok 1 (BCI ≤ 10.000; 71 hari). Bagaimanapun pasien pada kelompok 1 tidak signifikan prognosisnya lebih baik dibandingkan kelompok 2 (p=0,091). Estimasi 90 hari meninggal pada masing-masing kelompok. (Kelompok I, 58,95, kelompok 645, kelompok 3 78,9%). Kesimpulannya BCI (>40.000) diprediksi survivenya menurun pada pasien dengan kanker stadium lanjut.
    Mekanisme biologinya kenapa peningkatan kadar CRP berhubungan dengan prognosis yang buruk. CRP merupakan tipikal akut fase protein dan meningkat pada banyak kondisi inflamasi kronik, kanker dan infeksi. CRP disintesis di hepatosit sebagai respon pro-inflamasi sitokin seperti interleukin G, interleukin I dan tumor nekrosis faktor α. Peningkatan kadar CRP dilaporkan signifikan sebagai prediktor untuk survive pada banyak tipe tumor. Peningkatan kadar vitamin B 12 kemungkinan karena adanya peningkatan sirkulasi transkobalamin ( banyak pada neoplastik dan kondisi inflamasi dikombinasikan pada penyakit kanker).

3.   Kemoterapi di akhir kehidupan
     Kemoterapi di akhir kehidupan merupakan issue pada saat ini. Kemoterapi dapat menyebabkan kesakitan pada situasi palliatif. Tujuan pengobatan biasanya palliatif dan tidak memperpanjang hidup. Bagaimanapun, penggunaan kemoterapi palliatif dipertimbangkan antara bagaimana keuntungan kliniknya dan efek sampingnya. Kemoterapi selalu sebagai prosedur aktif. Kemoterapi di akhir kehidupan lebih bersifat agresif. Alasannya:
1.   Tumor sensitif dengna pengobatan sitostatis
2.   Alasannya memberikan respon yang cepat pada stadium lanjut.
3.   Menilai kondisi umum pasien dan komorbiditas.
Dasar keputusan pengobatan yang baik berdasarkan keinginan pasien dan rekomendasi dokter. Komunikasi antara dokter dan pasien penting dalam pengambilan keputusan perawatan palliatif kanker dan khususnya di akhir kehidupan kita harus mengetahui kualitas hidupnya dan arti kualitas hidup bagi mereka dan yang mereka ketahui. Pada situasi palliatif yang dilihat adalah beneficience dan nonmaleficience antara efek kemoterapi dan efek sampingnya. Hanya dengan berdiskusi masalah pasien dan harapan mereka serta otonomi mereka maka, keseimbangan dapat dicapai.
    Pencegahan pemberian pengobatan kemoterapi yang menyakitnkan di akhir kehidupan. Palliatif kemoterapi di akhir hidup berisiko meningkatkan infeksi, anemia dan atau perdarahan jika palliatif kemoterapi tidak ditunda atau di stop. Perawatan onkologi biasanya tidak menilai kondisi status performance pasien sebagai prognostik yang paling kuat untuk memprediksi survival. Oleh karena itu, dikembangkan kuesioner  untuk menilai kondisi pasien sebelum dilakukan kemoterapi serta untuk memonitor keadaan pasien. Sertauntuk meminimalisist risiko yang lebih menyakitkan. Performance status in palliative chemoterapy (PSPC) untuk memprediksi survival serta untuk menentukan kapan dilakukannya kemoterapi palliatif. Prognostik membantu proses pengambilan keputusan, peresepan, keberlanjutan dan stopnya kemoterapi palliatif di akhir kehidupan.

4.   Pemberian sedasi pada pasien kanker stadium lanjut
Dalam situasi penderitaan lain terselesaikan, sedasi, digunakan untuk
menginduksi keadaan kesadaran menurun atau tidak ada
(pingsan), muncul sebagai Pilihan terapi yang penting untuk meringankan beban lain tertekan yang tak dapat ditoleransi. Tujuannya adalah untuk memberikan bantuan yang memadai  dengan cara yang etis diterima pasien,
keluarga dan tenaga kesehatan. Selain penggunaannya untuk pasien
menjalani prosedur berbahaya dan dari penggunaan ventilator, sedasi adalah pengobatan terakhir yang dipilih karena penggunaannya harus dipertimbangkan kerugiannya dan risiko potensial. Penggunaan sedasi dapat merugikan karena  pasien mengalami gangguan atau kehilangan kemampuan untuk berinteraksi(tergantung pada kedalaman sedasi yang diterapkan).
    Kesulitan anggota keluarga berhubungan dengan beberapa faktor yaitu kesulitan untuk berinteraksi dengan pasien, kesedihan antisipatif, kebingungan atau ketidaksetujuan tentang indikasi untuk penggunaan obat penenang, dan persepsi bahwa Keputusan untuk menggunakan obat penenang itu sulit, atau mungkin
tidak tepat , atau persepsi bahwa sedasi langsung, atau bahkan secara tidak langsung, mempercepat kematian.
    Masalah ini, apakah sedasi pasien untuk meringankan
distress refraktori pada akhir hidup mempercepat kematian, adalah signifikan
kepada semua pemangku kepentingan: pasien, keluarga dan tenaga kesehatan. Masalah ini sangat penting untuk wacana dengan pasien dan keluarga mereka, informed consent dan etis musyawarah penting dalam setiap kasus.
Meskipun, beberapa penelitian menunjukkan bahwa sedasi paliatif tidak
mempercepat kematian pasien secara keseluruhan; bukti yang mendukung
Kesimpulan ini, sampai saat ini, didasarkan pada kelangsungan hidup komparatif
data pasien yang dirawat untuk perawatan rumah sakit rawat inap, membandingkan kelangsungan hidup pasien yang melakukan atau tidak perlu sedasi untuk mengelola penderitaan refraktori.
     Sedasi adalah terapi penting dan diperlukan dalam perawatan pasien yang dipilih pada pasien dengan tekanan yang berat di akhir kehidupannya.
Karena sedasi memiliki kapasitas  menyakiti sama dengan  membantu, sebagai salah satu tools dalam pemberian terapi yang penting
cara di mana alat terapi ini diterapkan penting.
Kurangnya perhatian untuk potensi risiko dan praktek bermasalah dapat menyebabkan praktek-praktek berbahaya dan tidak etis seperti kasar,
Penggunaan gegabah atau tidak terampil dalam pemberian sedasi.
     Penyalahgunaan obat penenang paliatif terjadi ketika dokter membius
pasien mendekati akhir hidup dengan tujuan utama
mempercepat kematian pasien palliatif gegabah
sedasi terjadi ketika sedasi diterapkan dengan maksud
menghilangkan gejala tetapi dalam keadaan klinis yang tidak
yang sesuai. Dalam situasi ini, sedasi diterapkan dengan maksud
untuk melepaskan tekanan dan hati-hati dititrasi untuk efek tetapi
indikasi yang tidak memadai untuk membenarkan dilakukannya intervensi radikal.    Hal yang harus digarisbawahi pentingnya evaluasi pasien dengan
seorang dokter yang ahli dalam menghilangkan gejala sebelum
beralih ke pilihan terapi ini.
     Istilah '' paliatif sedasi '' dan '' obat penenang terminal '' telah
digunakan untuk merujuk kepada kedua sedasi paliatif proporsional, di mana ketidaksadaran adalah diramalkan tetapi efek samping yang tidak diinginkan, dan sedasi paliatif untuk pingsan, di mana dokter bertujuan untuk membuat pasien mereka sadar sampai mati. Belum jelas sejauh mana sedasi paliatif untuk
pingsan diterima dan dipraktekkan oleh dokter AS.
Salah satu penelitian tentang sedasi paliatif  dilakukan. Adapun tujuannya untuk menyelidiki penerimaan dokter dan praktek paliatif sedasi untuk ketidaksadaran dan untuk mengidentifikasi prediktor praktek itu.
  Metode. Pada tahun 2010, survei dikirimkan kepada 2.016 praktek dokter AS.
Tindakan sedasi palliatif  yang dilaporkan sendiri  paliatif untuk
pasien pingsan sampai mati dan dokter mendukung sedasi tersebut untuk
pasien hipotetis dengan penderitaan eksistensial pada akhir kehidupan.
Hasil. Dari 1.880 dokter yang memenuhi syarat, 1156 menanggapi survei (62%).
Satu dari sepuluh (141/1156) dokter telah membius pasien selama 12
bulan dengan tujuan tertentu membuat pasien tak sadarkan diri sampai mati,
dan dua dari tiga dokter menentang sedasi untuk tidak sadarkan diri untuk eksistensial penderitaan, baik pada prinsipnya (68%, n ¼ 773) dan dalam kasus sekarat hipotetis pasien (72%, n ¼ 831). Delapan puluh lima persen (n ¼ 973) dari dokter sepakat bahwa pingsan adalah efek samping yang dapat diterima sedasi paliatif.
     Kesimpulan. Meskipun ada dukungan luas di kalangan dokter AS untuk
sedasi paliatif proporsional,  penenang untuk pasien yang sekarat dari
pingsan sampai kematian bukanlah norma dalam praktek klinis untuk pengobatan penderitaan terutama eksistensial.
C.  Kesimpulan
     Perawatan palliatif adalah  pendekatan yang bertujuan memperbaiki kualitas hidup pasien dan keluarga yang menghadapi masalah yang berhubungan dengan penyakit yang dapat mengancam jiwa melalui pencegahan dan peniadaan melalui identifikasi dini dan penilaian yang tertib serta penanganan nyeri dan masalah-masalah lain, fisik, psikososial dan spiritual. Perawatan palliatif diantaranya yaitu penanganan rasa nyeri,  pengambilan keputusan yang tepat dalam penggunaan kemoterapi palliatif dan pengambilan keputusan dalam penggunaan sedasi palliatif. Selain itu, juga penilaiannya vitamin B1/ CRP untuk menilai kelangsungan hidup pasien kanker stadium lanjut.
  











DAFTAR PUSTAKA
1.       Bandieri E, Sichetti D, Romero M, Fanizza C, Belfiglio M, Buonaccorso L, Artiolo F, Campione F, Tognoni G, Luppi M.Impact of early access to a palliative/supportive care intervention on pain management in patients with cancer. Annals of oncology.2012; 23: 2016-20.

2.       Kelly L, White S & Stone PC. The B12/  CRP index as a simple prognostic indicator in patients with advanced cancer: a confirmatory study. Annals of oncology. 2007; 18: 1395-99.

3.       Putman MS, John BA, Yoon MD, Rasinki KA, Curlin FA. Intentional sedation to unconsciousness at the end of life: Findings from a National Physician Survey. Journal of pain and symptom management. 2012;1-9.

4.       Nappa U, Lindqvist O, Axelsson B. Avoiding harmful palliative chemotherapy treatment in the end of life: development of a brief patient-completed questionnaire for routine assessment of performance status. J. Support oncol. 2012; 20 (10): 1-8.

5.       Cherny N. The use of sedation to relieve cancer patients suffering at the end of life:addressing critical issues.annals of oncology.2009;20 : 1153-55.

6.       Adam H, Hug S and Bosshard G. Chemotherapy near the end of life: a rtrospective single centre analysis of patients’ charts. BMC palliative care. 2014;13(26): 1-5.

7.       Raho JA. Palliative sedation: a review of the ethical debate. 2014. CHA; saint louis university: 15-23.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar